Hukum Vaksinasi Polio (1) : Prosesnya Bersinggungan Dengan Bahan Dari Babi?

Di sebagian kemasan vaksin ada tulisan: “pada proses pembuatannya bersinggungan dengan bahan bersumber babi”. Lalu bagaimana hukum vaksinasinya?

Menjelang program Pekan Imunisasi Nasional (PIN) polio yang serentak akan dilaksanakan pada tanggal 8-15 Maret 2015, kontroversi tentang status ke-halal-an vaksin, khususnya vaksin polio, kembali dihembuskan oleh pihak-pihak yang kontra terhadap program imunisasi (vaksinasi) pemerintah kita (baca: kelompok antivaks). Hal ini dimulai dengan menyebarkan kemasan vaksin polio yang tertulis, ”Pada proses pembuatannya bersinggungan dengan bahan bersumber babi” (Gambar 1), sehingga mengesankan bahwa vaksin polio tidak boleh (baca: haram) untuk digunakan.

Akibatnya, banyak orang tua, terutama umat muslim, yang enggan untuk mengikuti program PIN secara khusus, dan juga program imunisasi rutin terjadwal secara umum. Padahal, dari sisi medis, program PIN sangat diperlukan untuk memberantas penyakit polio. Oleh karena itu, tulisan ini secara khusus membahas tentang tinjauan syariat Islam tentang penggunaan vaksin polio.


Hukum-Vaksinasi-Polio-1-Prosesnya-Bersinggungan-Dengan-Bahan-Dari-Babi


Gambar 1. Kemasan vaksin polio yang disebarluaskan oleh kelompok antivaks di media sosial.

”Pada Proses Pembuatannya Bersinggungan dengan Bahan Bersumber Babi”

“Pada proses pembuatannya bersinggungan dengan bahan bersumber babi” adalah kalimat yang bisa kita jumpai pada kemasan beberapa merk vaksin tertentu. Ini merupakan salah satu regulasi yang dikeluarkan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Republik Indonesia. Karena kalimat inilah, sebagian orang menjadi ragu apakah vaksin tersebut menjadi halal digunakan ataukah tidak. Dan karena tulisan inilah, penggiat anti-vaksin menggunakannya sebagai senjata untuk menyatakan bahwa vaksin itu haram. Oleh karena itu, kita akan membahas secara lebih mendalam berdasarkan penjelasan para ulama terkait hal ini.

Bahan yang bersumber dari babi yang dimaksud adalah enzim tripsin babi (porcine-derived trypsin) yang memang digunakan selama proses produksi (pada step atau tahapan tertentu) vaksin polio dan beberapa jenis vaksin (tidak semua). Enzim ini harus “dibersihkan” atau “dihilangkan” sehingga tidak mengganggu tahapan proses produksi vaksin selanjutnya. Oleh karena itu, enzim tripsin TIDAK TERDAPAT dalam produk akhir vaksin yang diberikan kepada manusia. Enzim tersebut mengalami proses pemurnian (purifikasi) sehingga terpisah dari produk akhir vaksin1.

Oleh karena itu, bisa dilihat dalam komposisi vaksin di atas (Gambar 1) bahwa vaksin polio hanya berisi virus polio tipe 1, 2, dan 3 yang telah mati (inactivated poliovirus),2–phenoxyethanol, dan formaldehyde. Vaksin jenis ini diberikan melalui suntikan (vaksin polio IPV). Tidak ada bahan atau unsur yang bersumber dari babi yang masuk ke dalam tubuh manusia. Selain vaksin polio IPV, juga terdapat vaksin polio OPV yang diberikan melalui tetes di mulut. Vaksin OPV berisi virus polio yang dilemahkan (live-attenuated vaccines) dan dalam proses produksinya juga bersinggungan dengan bahan bersumber babi. Vaksin polio OPV inilah yang nanti akan digunakan dalam program PIN bulan Maret 2016 ini.

Bagaimanakah Cara Membersihkan Najis Babi?

Penggunaan enzim tripsin babi, masih belum tergantikan hingga saat ini, meskipun saat ini sudah mulai diproduksi enzim tripsin dengan menggunakan teknik DNA rekombinan. Oleh karena proses produksi vaksin yang bersinggungan dengan benda najis (babi), maka perlu kita pelajari bagaimanakah petunjuk syariat dalam membersihkan najis babi.

Dari Abu Tsa’labah Al-Khusyani radhiyallahu ‘anhu, beliau bertanya kepada Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam,

يَا نَبِيَّ اللَّهِ، إِنَّا بِأَرْضِ قَوْمٍ مِنْ أَهْلِ الكِتَابِ، أَفَنَأْكُلُ فِي آنِيَتِهِمْ؟

“Wahai Rasulullah! Kami tinggal di daerah yang mayoritas penduduknya ahli kitab. Apakah kami boleh makan dengan menggunakan wadah mereka?”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,

فَإِنْ وَجَدْتُمْ غَيْرَهَا فَلاَ تَأْكُلُوا فِيهَا، وَإِنْ لَمْ تَجِدُوا فَاغْسِلُوهَا وَكُلُوا فِيهَا

“Jika Engkau mendapatkan wadah lainnya, jangan makan menggunakan wadah tersebut. Jika Engkau tidak mendapatkan yang lainnya, maka cucilah wadah tersebut, dan makanlah dengan menggunakan wadah tersebut.” (HR. Bukhari no. 5478 dan Muslim no. 1930)

Di dalam riwayat yang lain, terdapat tambahan,

قَالَ: إِنَّا نُجَاوِرُ أَهْلَ الْكِتَابِ وَهُمْ يَطْبُخُونَ فِي قُدُورِهِمُ الْخِنْزِيرَ وَيَشْرَبُونَ فِي آنِيَتِهِمُ الْخَمْر

“Abu Tsa’labah berkata,’Kami bertetangga dengan ahli kitab. Mereka memasak daging babi di panci-panci mereka dan minum khamr dengan wadah-wadah mereka.” (HR. Abu Dawud no. 3839)2.

Di dalam hadits tesebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan dua syarat jika ingin menggunakan wadah ahli kitab yang biasa dipakai untuk memasak babi. Syarat pertama, tidak ditemukan wadah lainnya. Syarat ke dua, yaitu dicuci sampai bersih3. Proses pencucian ini kurang lebih sama sebagaimana kita mencuci peralatan masak lainnya yang biasa kita pakai sehari-hari, yaitu dibersihkan najisnya sampai bersih, sehingga tidak tersisa lagi bau, rasa, dan warnanya. Kalau dengan dicuci sekali sudah bersih, maka hal itu sudah mencukupi. Tidak ada tuntutan untuk dicuci sampai level molekuler, yaitu sampai semua molekul atau atom yang berasal dari babi tidak ada lagi yang tersisa (masih menempel) di wadah tersebut.

Pada proses pembuatan vaksin, enzim tripsin atau bahan-bahan bersumber dari hewan lainnya akan dipisahkan, dengan metode sentrifugasi atau filtrasi. Proses pemurnian ini dilakukan berulang-ulang. Pada akhirnya, yang tersisa adalah komponen (mikroorganisme) yang diinginkan, dalam hal ini virus polio. Proses produksi ini akan diawasi secara ketat berdasarkan regulasi dan aturan yang telah dibuat oleh lembaga berwenang seperti WHO. Pada produk akhir vaksin, enzim tripsin dan bahan-bahan bersumber hewan lainnya, tidak terdeteksi lagi. Jika masih terdeteksi, berarti produk tersebut adalah “produk gagal” alias tidak berkualitas, tidak boleh digunakan untuk manusia. Oleh karena itu, kualitas produk vaksin akan dicek secara ketat untuk memastikan kemurnian, potensi (efektifitas), dan keamanan produk vaksin tersebut4.

Berdasarkan hal ini, maka proses pencucian dan pemurnian produk akhir vaksin pada dasarnya telah sesuai dengan apa yang dijelaskan dan ditentukan oleh syariat.

Hukum Memakan Binatang Jalalah

Dalam pembahasan tentang fiqh makanan, para ulama membahas tentang hukum memakanbinatang jalalah. Binatang jalalah adalah binatang yang makanannya adalah benda-benda najis atau mayoritas makanannya adalah najis, sehingga benda-benda najis tersebut menyatu dengan tubuh binatang tersebut (menjadi darah dan daging). Hukum asal binatangjalalah ini haram dikonsumsi berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ أَكْلِ الْجَلَّالَةِ وَأَلْبَانِهَا

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang untuk mengkonsumsi hewan jalalah dan susu yang dihasilkan darinya.” (HR. Abu Dawud no. 3785 dan At-Tirmidzi no. 1824) 5.

Akan tetapi, hukum haram ini tidaklah permanen. Agar menjadi halal dikonsumsi, para ulama menjelaskan bahwa binatang tersebut perlu dikarantina selama beberapa hari dan hanya diberi makanan yang suci dan sampai bau atau rasa (pengaruh) najisnya hilang6.Terdapat riwayat dari sahabat Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwa proses karantina tersebut berlangsung selama tiga hari.

عَنْ نَافِعٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ: «أَنَّهُ كَانَ يَحْبِسُ الدَّجَاجَةَ الْجَلَّالَةَ ثَلَاثًا»

“Dari Nafi’, dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwasannya beliau mengurung (mengkarantina) ayam yang biasa makan benda najis selama tiga hari.” (Riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf-nya no. 24608)

Jika binatang jalalah saja bisa menjadi halal dimakan (setelah melalui proses karantina), padahal jelas-jelas bersatu langsung dengan najis (najis tersebut setelah dimakan lalu diserap menjadi darah dan daging), lalu bagaimana lagi dengan vaksin yang “hanya” bersinggungan dengan najis (babi) dan telah mengalami pemurnian? Kalau vaksin tetap haram karena “pernah bersinggungan” dengan najis babi, maka lebih-lebih lagi binatangjalalah, tidak akan pernah bisa berubah hukum menjadi halal. 7.

[Bersambung]

Yang senantiasa membutuhkan rahmat dan ampunan Rabb-nya,

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Artikel Muslim.or.id | Gunardi.info

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Contoh Proposal Bisnis Kontrakan dan Koskosan

Scuto Nano Ceramic Coating

Benarkah Dinda Meilandary Pemilik Asli Akun Facebook Ina Si Nononk