Hukum Vaksinasi Polio (2) : Fatwa Dan Dukungan Para Ulama
Berikut ini fatwa para ulama mengenai imunisasi juga jawaban mereka terkait masalah bahan vaksin yang dikatakan bersinggungan dengan zat dari babi
Permasalahan “bersinggungan dengan najis babi” ini pernah ditanyakan secara khusus kepada Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah Alu Syaikh hafidzahullah. Beliau rahimahullah adalahmufti Kerajaan Saudi Arabia yang ditunjuk setelah Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baazrahimahullah wafat, sekaligus sebagai ketua Haiah Kibaril Ulama dan Idaroh Buhuts ‘Ilmiyyah wal Ifta (Departemen Riset Ilmiah dan Fatwa). Jabatan mufti di Saudi Arabia adalah jabatan setingkat menteri. Biografi selengkapnya dapat dilihat di situs resmi beliau1.
Ketika Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah Alu Syaikh hafidzahullah ditanya oleh Ustadz Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi hafidzahullah2 tentang vaksin yang menggunakan katalis dari unsur babi, namun pada produk akhirnya tidak ada lagi unsur babi tersebut, beliau menjawab dengan singkat dan padat, “La ba’sa” alias tidak mengapa.
Dialog ini terjadi setelah shalat Jumat di Masjid Syaikh Ibnu Baz di Aziziyah setelah selesai prosesi manasik haji pada tahun 2008. Di antara yang ikut mendengar fatwa Syaikh Abdul Aziz ketika itu adalah Ustadz Aris Munandar3 dan Ustadz Anwari hafidzahumallahu Ta’ala.45.
Fatwa ini dengan tegas menunjukkan bahwa vaksin secara umum hukumnya boleh (mubah), meskipun pada proses produksinya bersinggungan dengan bahan bersumber dari babi.
Lebih spesifik lagi, para ulama yang berada di bawah naungan lembaga the European Council of Fatwa and Research juga telah mengeluarkan fatwa halal untuk vaksin polio oral (OPV) [tanpa menyebut merk tertentu], disertai dengan sisi pendalilan-nya6. Meskipun fatwa tersebut tidak menyebut merk vaksin tertentu, kita ketahui bahwa proses produksi di semua perusahaan farmasi (produsen vaksin) adalah sama, karena adanya standar yang ditetapkan oleh lembaga yang berwenang (WHO). Oleh karena itu, tuntutan untuk dicantumkannya sertifikat halal (SH) untuk setiap jenis merk vaksin, sebagaimana yang disuarakan oleh kelompok anti-vaksin, adalah tuntutan yang tidak berdasar dan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip syariat.
Juga terdapat fatwa dari mufti Kerajaan Saudi Arabia, Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz rahimahullah, tentang bolehnya program pemberantasan polio melalui vaksinasi polio.(Gambar 1)
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz rahimahullah berkata,”Tidak masalah dengan (program) vaksinasi polio, karena hal itu merupakan metode yang bermanfaat sebagaimana metode pengobatan medis lainnya (yang diperbolehkan). Vaksinasi tidak termasuk berputus asa (tidak tawakkal), yang dilarang oleh syariat. Semoga Allah mengkaruniakan taufik-Nya dan membantu kita untuk berbuat kebaikan”7.
Gambar 1. Fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz rahimahullah tentang Program Vaksinasi Polio versi Bahasa Inggris
Selain itu, para ulama Majma’ Al-Fiqh Al-Islamy, yang berada di bawah naungan Organisasi Konferensi Islam (OKI), mereka membuat sebuah pernyataan (deklarasi) berjudul8 (Gambar 2),
بيان للتشجيع على التطعيم ضد شلل الأطفال
[Penjelasan untuk memotivasi (mendukung) gerakan imunisasi memberantas penyakit polio]
Gambar 2. Dukungan Majma’ Al-Fiqh Al-Islamy terhadap Program Pemberantasan Penyakit Polio melalui Vaksinasi Polio untuk Anak-Anak
Dalam deklarasi tersebut disebutkan,
وبعد الاطلاع على التقارير الصادرة من الجهات الطبية المتخصصة فيرجو مجمع الفقه الإسلامي الدولي أن يبيّن أن التطعيم ضد مرض شلل الأطفال أمر ثبت نفعه وأخذه شائع يأخذه كل أطفال العالم سواء في الشرق أو الغرب، وقد أثبتت تلك التقارير أن حملات التطعيم قد نجحت –بفضل الله– في تخفيض النسبة المئوية لانتشار مرض الشلل بين الأطفال في دول العالم الإسلامي إلى أكثر من 25%، وأن ترك التطعيم في بعض البلاد تسبب في إصابة المئات من الأطفال بالشلل، كما تسبب في نقل فيروس المرض مع المسافرين إلى عدة بلاد إسلامية مجاورة. وذكرت التقارير بأن تكثيف حملات التطعيم في المناطق النائية يمكن أن يقدم نتائج أكثر إيجابية، غير أن تلك التقارير قد نبهت إلى أن القائمين على تلك الحملات يجدون صعوبات بالغة في إقناع بعض أولياء الأمور بسبب سوء الفهم الذي يجدونه عندهم حول التطعيم ضد هذا المرض، اعتقادا منهم بأنه يؤدي إلى العقم لدى البنات، وبعد أن تبين ممن يوثق بهم من المتخصصين في الطب بأن هذه إشاعة مغرضة، لا أساس لها من الصحة، وأن وزارات الصحة في البلاد الإسلامية مطمئنة من خلو تلك اللقاحات من أية أضرار.
“Setelah menelaah bukti-bukti yang bersumber dari sisi medis, maka Majma’ Al-Fiqh Al-Islamy menyatakan bahwa vaksinasi melawan polio adalah perkara yang TERBUKTImanfaatnya. Hendaknya semua bayi (anak-anak) di seluruh penjuru dunia MENDAPATKAN VAKSINASI POLIO. Laporan-laporan tersebut menunjukkan bahwa vaksinasi polio telah berhasil –dengan karunia dari Allah Ta’ala– dalam mengurangi persentase penyebaran penyakit (virus) polio, lebih dari 25%. (Laporan juga menunjukkan bahwa) meninggalkan program vaksinasi (polio) menyebabkan ratusan anak menjadi lumpuh, dan juga menyebabkan transfer (penularan) virus ke beberapa negara Islam tetangga melalui wisatawan. Bukti-bukti juga menunjukkan bahwa meng-intensifkan kampanye vaksinasi polio di daerah pelosok dapat menunjukkan hasil yang lebih bermanfaat.
Namun, laporan-laporan tersebut juga memperingatkan para penanggung jawab program vaksinasi, dimana mereka menemui kesulitan untuk membujuk beberapa orang tua (untuk mengikuti program vaksinasi) karena ADANYA PEMAHAMAN YANG KELIRU tentang vaksinasi melawan penyakit polio. Mereka (para orang tua) meyakini bahwa vaksin polio menyebabkan kemandulan pada anak perempuan. Telah dijelaskan oleh para ahli dalam bidang ilmu kedokteran bahwa hal ini adalah isu yang tidak benar dan tidak berdasar. Kementerian Kesehatan dari negara-negara Islam juga telah meyakinkan bahwa vaksin ini tidak menimbulkan bahaya.”
Majma’ Al-Fiqh Al-Islamy juga menyatakan di dokumen yang sama,
سابعاً: إن دفع الأمراض بالتطعيم لا ينافي التوكل؛ كما لا ينافيه دفع داء الجوع والعطش والحر والبرد بأضدادها، بل لا تتم حقيقة التوكل إلا بمباشرة الأسباب الظاهرة التي نصبها الله تعالى مقتضيات لمسبباتها قدرا وشرعا، وقد يكون ترك التطعيم إذا ترتب عليه ضرر محرما.
“Mencegah penyakit dengan imunisasi tidaklah menafikan (bertentangan dengan) tawakkal, sebagaimana mencegah lapar, haus, panas, dan dingin. Bahkan hakikat tawakkal tidaklahsempurna kecuali dengan melakukan sebab-sebab nyata yang telah Allah tetapkan sebagai penyebabnya, baik sebagai sebab qadariyah (sebab-akibat melalui pengalaman atau penelitian, pent.) atau sebagai sebab syar’i. Dan bisa jadi, jika tidak melakukan imunisasi(polio) kemudian muncul bahaya, maka HUKUMNYA ADALAH HARAM”9 10.
Marilah kita berfikir sejenak, jika vaksin polio yang digunakan dalam program imunisasi adalah haram, bagaimana mungkin para ulama tersebut menyatakan dukungannya terhadap program pemberantasan polio dengan menggunakan vaksin polio? Kelompok antivaks seringkali berkilah bahwa yang dinyatakan halal adalah “proses” atau kegiatan “imunisasi”-nya (kegiatan pencegahan penyakit), bukan “vaksin” (produk) yang digunakan dalam kegiatan imunisasi. Padahal jelas dalam fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah Alu Syaikhhafidzahullah dan juga fatwa the European Council of Fatwa and Research, bahwa yang dinyatakan halal adalah vaksin sebagai sebuah produk. Selain itu, istilah “imunisasi” yang digunakan sebagai patokan oleh para ulama adalah imunisasi dengan vaksin, bukan dengan yang lainnya. Karena inilah istilah imunisasi yang dikenal secara luas dalam ilmu kedokteran (imunisasi aktif dengan vaksin).
Sayangnya, sebagian antivaks kadang mencela para ulama dengan mengatakan bahwa para ulama tersebut adalah “ulama pro-babi” atau “ulama yang tidak 100% berpegang teguh dengan syariat Islam”, karena mem-fatwa-kan sesuatu yang bertentangan dengan “keyakinan” mereka (bahwa vaksin hukumnya haram)11.
(bersambung)
Yang senantiasa membutuhkan rahmat dan ampunan Rabb-nya,
Penulis: M. Saifudin Hakim
Artikel Muslim.or.id | Gunardi.info
Komentar
Posting Komentar